Ketimpangan Kesejahteraan Guru: Gaji Rp250 Ribu di Ende Jadi Sorotan
06/08/2024 : 18.30 WIB
Ende, 6 Agustus 2024 – Jagat media sosial kembali digemparkan oleh pengakuan sejumlah guru di Sekolah Menengah Kejuruan Negeri (SMKN) VI Ende, Nusa Tenggara Timur (NTT), yang menyatakan hanya menerima gaji sebesar Rp250 ribu per bulan. Kisah ini menjadi viral setelah diunggah oleh salah satu akun pendidikan di media sosial, memicu gelombang empati dan kemarahan dari warganet atas ketimpangan kesejahteraan yang dialami para pendidik di daerah terpencil.
Fenomena ini kemudian mendapat perhatian dari DPR RI. Komisi X yang membidangi pendidikan menyebut kasus ini sebagai gambaran nyata ketimpangan struktural yang selama ini luput dari perhatian pemerintah pusat. Menurut mereka, kondisi guru di daerah seperti Ende bertolak belakang dengan situasi di kota-kota besar, di mana guru bisa memperoleh penghasilan layak, bahkan gaji tambahan dari tunjangan dan kegiatan pelatihan.
"Ini adalah potret buram sistem pendidikan kita. Bagaimana mungkin guru yang merupakan garda terdepan dalam mencerdaskan bangsa hanya menerima upah jauh di bawah standar kelayakan?" ujar salah satu anggota Komisi X DPR RI. Ia menambahkan bahwa hal ini bukan hanya soal keadilan, tetapi juga menyangkut martabat profesi guru yang seharusnya dihargai lebih baik.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menyatakan tengah melakukan penelusuran lebih lanjut terkait status kepegawaian para guru tersebut. Banyak dari guru di sekolah terpencil berstatus honorer daerah, yang berarti mereka tidak berada di bawah tanggung jawab langsung kementerian, melainkan pemerintah daerah setempat. Sayangnya, anggaran pendidikan di beberapa daerah tertinggal masih sangat terbatas.
Pakar pendidikan menilai bahwa rendahnya gaji guru honorer di daerah seperti Ende menunjukkan lemahnya implementasi prinsip keadilan distributif dalam sistem pendidikan nasional. Pemerintah pusat diminta turun tangan lebih aktif, tidak hanya menyerahkan tanggung jawab pembiayaan pendidikan kepada pemerintah daerah yang kemampuan fiskalnya sangat terbatas. Desentralisasi, menurut mereka, tak boleh dijadikan alasan untuk membiarkan ketimpangan ini terus terjadi.
Kisah guru-guru di Ende seharusnya menjadi momentum evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan penggajian tenaga pendidik, terutama di daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar). Tanpa keberpihakan anggaran dan perhatian serius, cita-cita pendidikan merata di seluruh pelosok negeri hanya akan menjadi slogan kosong. Pemerintah perlu segera menyiapkan langkah konkret untuk memastikan seluruh guru di Indonesia, tanpa terkecuali, mendapatkan hak yang layak atas jasa dan pengabdian mereka.
Admad Syaifullah berkontribusi dalam penulisan artikel ini.