Menilik Lebih dalam Konsep Sekolah Rakyat
03/10/2025 : 10.30 WIB
Konsep Sekolah Rakyat yang dikembangkan oleh Abdul Mukti bukanlah sekadar lembaga pendidikan alternatif, melainkan sebuah gerakan sosial yang mengembalikan pendidikan ke akar utamanya: sebagai hak dasar dan alat pembebasan manusia. Sekolah Rakyat hadir sebagai bentuk perlawanan terhadap sistem pendidikan yang cenderung elitis, komersial, dan menjauh dari kebutuhan riil masyarakat kecil.
Abdul Mukti meyakini bahwa pendidikan tidak bisa diserahkan sepenuhnya pada negara, apalagi diprivatisasi oleh kepentingan pasar. Justru rakyat sendirilah yang harus mengambil peran utama dalam menciptakan dan mengelola pendidikan yang sesuai dengan nilai-nilai lokal dan kebutuhan komunitas mereka.
Berikut ini uraian menyeluruh dari delapan prinsip utama dalam konsep Sekolah Rakyat menurut Abdul Mukti:
1. Berbasis Kerakyatan dan Kemandirian
Sekolah Rakyat dibangun atas dasar inisiatif rakyat, bukan oleh negara, perusahaan, atau donor besar. Konsep ini menekankan bahwa masyarakat memiliki kapasitas dan hak penuh untuk menentukan bentuk pendidikan yang mereka butuhkan, termasuk lokasi, kurikulum, hingga tenaga pengajarnya.
“Pendidikan harus kembali ke tangan rakyat, bukan hanya negara,” — Abdul Mukti.
Dalam praktiknya, masyarakatlah yang menyediakan tempat belajar, menentukan jadwal, dan menyumbangkan tenaga maupun sumber daya. Ini membangun rasa kepemilikan dan tanggung jawab bersama.
2. Pendidikan Kontekstual dan Praktis
Alih-alih mengikuti kurikulum yang seragam secara nasional dan kerap tidak relevan, Sekolah Rakyat menyesuaikan isi pembelajaran dengan realitas kehidupan peserta didik. Materi ajar melibatkan isu-isu lokal dan keterampilan yang dapat langsung diterapkan oleh anak-anak di kehidupan sehari-hari.
Contohnya: (a) Anak petani diajarkan teknik bercocok tanam modern, (b) Anak pengrajin diajari teknik produksi dan pemasaran sederhana, dan (3) Diskusi tentang lingkungan sekitar, kesehatan, hingga hak-hak dasar warga.
Tujuannya adalah menciptakan pendidikan yang hidup dan bermakna, bukan sekadar hafalan teori tanpa relevansi sosial.
3. Tanpa Biaya (Gratis)
Salah satu hambatan utama anak-anak miskin mengakses pendidikan adalah biaya. Sekolah Rakyat secara tegas menolak segala bentuk pungutan. Semua pembiayaan diupayakan melalui solidaritas sosial: (a) Sumbangan dari warga, (b) Bantuan dari relawan, (c) Gotong royong antar komunitas.
Pendidikan dijadikan barang publik yang bisa diakses siapa saja, tanpa memandang kemampuan finansial.
4. Pendidikan Kritis dan Membebaskan
Mengacu pada pemikiran Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed, Sekolah Rakyat menekankan kesadaran kritis. Anak tidak diperlakukan sebagai objek pasif, tetapi sebagai subjek yang diajak berpikir, berdialog, dan memahami realitas sosial mereka.
Pendidikan yang membebaskan berarti: (a) Mengajak anak memahami ketidakadilan di sekitarnya, (b) Memberi mereka alat untuk menyuarakan perubahan, (c) Menumbuhkan keberanian bertanya, berdiskusi, dan berpikir reflektif.
Proses ini sangat jauh dari model “banking education” yang hanya menjejalkan informasi.
5. Partisipasi Komunitas
Sekolah Rakyat dibangun dalam semangat kolektif. Bukan hanya guru dan siswa yang terlibat, tetapi juga orang tua, tokoh masyarakat, pemuda, dan siapa pun yang peduli pada pendidikan di lingkungannya.
Masyarakat: (a) Menentukan arah kurikulum, (b) Membantu memfasilitasi ruang belajar, (c) Ikut serta dalam evaluasi pembelajaran.
Ini menjadikan sekolah sebagai pusat kehidupan sosial, bukan sekadar tempat “menerima pelajaran”.
6. Fleksibel dan Adaptif
Tidak ada aturan kaku mengenai waktu, tempat, atau bentuk pembelajaran. Sekolah Rakyat bersifat sangat fleksibel, karena memahami kondisi anak-anak yang berbeda-beda, terutama mereka yang: (a) Harus membantu orang tua bekerja, (b) Tidak punya kendaraan ke sekolah jauh, (c) Tinggal di daerah terpencil.
Kelas bisa diadakan di mana saja: di rumah warga, balai desa, kolong jembatan, bahkan di sawah. Waktu belajar bisa pagi, sore, atau malam—sesuai kebutuhan.
7. Relawan sebagai Guru
Pengajar di Sekolah Rakyat bukan guru formal yang digaji negara, melainkan relawan yang memiliki kepedulian sosial tinggi. Mereka bisa mahasiswa, pensiunan guru, aktivis, atau warga biasa yang punya keahlian dan semangat mengabdi.
Yang terpenting bukan sertifikat, melainkan kemampuan memanusiakan proses belajar dan membangun hubungan setara dengan peserta didik.
8. Pendidikan Karakter dan Moral Sosial
Sekolah Rakyat tak hanya menekankan kecerdasan intelektual, tetapi juga pembentukan karakter dan etika sosial. Nilai-nilai seperti: (a) Gotong royong, (b) Kepedulian, (c) Kejujuran, (d) Tanggung jawab, (e) Disiplin dan kerja keras
Anak-anak diajak menjadi manusia seutuhnya, bukan hanya calon pekerja atau pencari ijazah.
Konsep Sekolah Rakyat yang digagas oleh Abdul Mukti adalah bentuk perlawanan terhadap ketimpangan sistem pendidikan, sekaligus manifestasi harapan bagi masa depan yang lebih adil dan beradab. Sekolah ini bukan hanya tempat belajar, melainkan ruang tumbuhnya kesadaran, solidaritas, dan perubahan sosial.
Di tengah krisis sistem pendidikan yang sering kali abai terhadap rakyat kecil, Sekolah Rakyat menjadi cahaya yang menunjukkan bahwa pendidikan tidak harus mahal, rumit, atau terpusat—tetapi bisa hadir dari dan untuk rakyat itu sendiri.
Suhas Caryono berkontribusi dalam penulisan artikel ini.