Menilik Lebih Dalam Konsep Sekolah Rakyat
03/06/2025 : 10.00 WIB
Konsep Sekolah Rakyat yang dikembangkan oleh Abdul Mukti bukan sekadar lembaga pendidikan alternatif, melainkan sebuah gerakan sosial yang mengembalikan pendidikan kepada hakikat dasarnya: sebagai hak dasar dan alat pembebasan manusia. Sekolah Rakyat hadir sebagai bentuk perlawanan terhadap sistem pendidikan yang cenderung elitis, komersial, dan menjauh dari kebutuhan riil masyarakat kecil.
Abdul Mukti meyakini bahwa pendidikan tidak bisa diserahkan sepenuhnya kepada negara, apalagi diprivatisasi oleh kepentingan pasar. Justru rakyat sendirilah yang harus mengambil peran utama dalam menciptakan dan mengelola pendidikan yang sesuai dengan nilai-nilai lokal dan kebutuhan komunitas mereka.
Berikut ini uraian menyeluruh delapan prinsip utama dalam konsep Sekolah Rakyat menurut Abdul Mukti:
1. Berbasis Kerakyatan dan Kemandirian
Sekolah Rakyat dibangun atas dasar inisiatif rakyat, bukan oleh negara, perusahaan, atau donor besar. Konsep ini menekankan bahwa masyarakat memiliki kapasitas dan hak penuh untuk menentukan bentuk pendidikan yang mereka butuhkan, termasuk lokasi, kurikulum, hingga tenaga pengajarnya.
“Pendidikan harus kembali ke tangan rakyat, bukan hanya negara,” ujar Abdul Mukti.
Dalam praktiknya, masyarakat menyediakan tempat belajar, menentukan jadwal, dan menyumbangkan tenaga maupun sumber daya. Hal ini membangun rasa kepemilikan dan tanggung jawab bersama.
2. Pendidikan Kontekstual dan Praktis
Alih-alih mengikuti kurikulum seragam secara nasional yang sering tidak relevan, Sekolah Rakyat menyesuaikan isi pembelajaran dengan realitas kehidupan peserta didik. Materi ajar melibatkan isu-isu lokal dan keterampilan yang dapat langsung diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Contohnya: (a) Peserta didik dari keluarga petani diajarkan teknik bercocok tanam modern, (b) Peserta didik dari keluarga pengrajin diajari teknik produksi dan pemasaran sederhana, (c) Diskusi mengenai lingkungan sekitar, kesehatan, hingga hak-hak dasar warga.
Tujuannya adalah menciptakan pendidikan yang hidup dan bermakna, bukan sekadar hafalan teori tanpa relevansi sosial.
3. Tanpa Biaya (Gratis)
Salah satu hambatan utama anak-anak kurang mampu mengakses pendidikan adalah biaya. Sekolah Rakyat secara tegas menolak segala bentuk pungutan. Semua pembiayaan diupayakan melalui solidaritas sosial, seperti: sumbangan dari warga, bantuan relawan, dan gotong royong antar komunitas.
Pendidikan dijadikan barang publik yang bisa diakses siapa saja tanpa memandang kemampuan finansial.
4. Pendidikan Kritis dan Membebaskan
Mengacu pada pemikiran Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed, Sekolah Rakyat menekankan kesadaran kritis. Anak didik tidak diperlakukan sebagai objek pasif, melainkan sebagai subjek yang diajak berpikir, berdialog, dan memahami realitas sosial mereka.
Pendidikan yang membebaskan berarti: (a) Mengajak anak memahami ketidakadilan di sekitarnya, (b) Memberi mereka alat untuk menyuarakan perubahan, (c) Menumbuhkan keberanian bertanya, berdiskusi, dan berpikir reflektif.
Proses ini sangat berbeda dengan model “banking education” yang hanya menjejalkan informasi.
5. Partisipasi Komunitas
Sekolah Rakyat dibangun dalam semangat kolektif. Tidak hanya guru dan siswa yang terlibat, tetapi juga orang tua, tokoh masyarakat, pemuda, dan siapa pun yang peduli terhadap pendidikan di lingkungannya.
Masyarakat: (a) Menentukan arah kurikulum, (b) Membantu memfasilitasi ruang belajar, (c) Ikut serta dalam evaluasi pembelajaran.
Ini menjadikan sekolah sebagai pusat kehidupan sosial, bukan sekadar tempat menerima pelajaran.
6. Fleksibel dan Adaptif
Tidak ada aturan kaku mengenai waktu, tempat, atau bentuk pembelajaran. Sekolah Rakyat sangat fleksibel karena memahami kondisi anak-anak yang berbeda-beda, terutama mereka yang: (a) Harus membantu orang tua bekerja, (b) Tidak memiliki kendaraan ke sekolah yang jauh, (c) Tinggal di daerah terpencil.
Kelas bisa diadakan di mana saja: rumah warga, balai desa, kolong jembatan, bahkan sawah. Waktu belajar bisa pagi, sore, atau malam sesuai kebutuhan.
7. Relawan sebagai Guru
Pengajar di Sekolah Rakyat bukan guru formal yang digaji negara, melainkan relawan dengan kepedulian sosial tinggi. Mereka bisa mahasiswa, pensiunan guru, aktivis, atau warga biasa yang memiliki keahlian dan semangat mengabdi.
Yang terpenting bukan sertifikat, melainkan kemampuan memanusiakan proses belajar dan membangun hubungan setara dengan peserta didik.
8. Pendidikan Karakter dan Moral Sosial
Sekolah Rakyat tidak hanya menekankan kecerdasan intelektual, tetapi juga pembentukan karakter dan etika sosial. Nilai-nilai seperti: (a) Gotong royong, (b) Kepedulian, (c) Kejujuran, (d) Tanggung jawab, (e) Disiplin dan kerja keras,
diajarkan agar anak-anak menjadi manusia seutuhnya, bukan sekadar calon pekerja atau pencari ijazah.
Konsep Sekolah Rakyat yang digagas Abdul Mukti merupakan bentuk perlawanan terhadap ketimpangan sistem pendidikan sekaligus harapan untuk masa depan yang lebih adil dan beradab. Sekolah ini bukan hanya tempat belajar, melainkan ruang tumbuhnya kesadaran, solidaritas, dan perubahan sosial.
Di tengah krisis sistem pendidikan yang sering kali abai terhadap rakyat kecil, Sekolah Rakyat menjadi cahaya yang menunjukkan bahwa pendidikan tidak harus mahal, rumit, atau terpusat, tetapi dapat hadir dari dan untuk rakyat itu sendiri.
Suhas Caryono berkontribusi dalam penulisan artikel ini.