Meningkatkan Kemampuan Adaptasi Siswa Terhadap Teknologi AI di Era Digital
02/10/2024 : 09.00 WIB
Perkembangan teknologi kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari dinamika kehidupan modern, khususnya dalam sektor pendidikan. AI kini tidak hanya hadir dalam bentuk perangkat lunak atau aplikasi pintar, tetapi telah meresap ke dalam metode pembelajaran, sistem evaluasi, bahkan dalam pengelolaan administrasi sekolah. Di tengah perubahan ini, siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) berada pada posisi strategis. Mereka adalah generasi yang tumbuh di tengah revolusi digital dan menjadi ujung tombak transformasi pendidikan. Namun, untuk mampu memanfaatkan potensi AI secara optimal, diperlukan kemampuan adaptasi yang mumpuni—sebuah tantangan yang tidak bisa dianggap remeh.
Peserta didik di jenjang SMA secara umum sudah cukup familiar dengan teknologi digital. Mereka terbiasa menggunakan media sosial, belajar melalui platform daring, bahkan mengakses berbagai alat berbasis AI seperti Grammarly, ChatGPT, dan asisten virtual lainnya. Meski demikian, kedekatan ini belum tentu berbanding lurus dengan pemahaman kritis terhadap teknologi tersebut. Banyak siswa masih menjadikan AI sekadar alat bantu menyelesaikan tugas instan, tanpa memahami cara kerja, batasan, maupun implikasi etis penggunaannya. Di sinilah pentingnya membentuk literasi AI sejak dini, agar mereka tidak hanya menjadi konsumen teknologi, tetapi juga bisa menjadi pencipta, pengembang, dan pengguna yang bertanggung jawab.
Pendidikan berbasis teknologi harus mulai diarahkan pada integrasi literasi AI dalam kurikulum sekolah menengah. Mata pelajaran seperti informatika, kewarganegaraan, bahkan bahasa Indonesia, bisa menjadi wadah untuk menyisipkan pemahaman mengenai AI: bagaimana mesin belajar, apa itu data training, bagaimana AI digunakan di dunia nyata, serta bagaimana menilai dampaknya terhadap etika dan privasi. Pembelajaran berbasis proyek yang mengajak siswa menciptakan aplikasi sederhana berbasis AI atau memecahkan masalah nyata dengan bantuan AI akan memperkuat pemahaman konseptual dan keterampilan praktis. Pendekatan semacam ini mengubah posisi siswa dari pengguna pasif menjadi pelaku aktif.
Namun, membentuk budaya adaptif terhadap AI tidak bisa diserahkan pada siswa saja. Peran guru sebagai fasilitator, mentor, dan inspirator menjadi sangat vital. Guru perlu dibekali pelatihan berkelanjutan agar mereka mampu menjembatani siswa dengan teknologi terkini. Mereka perlu tahu cara memanfaatkan AI dalam merancang metode pembelajaran yang lebih menarik, adaptif, dan personal. Bayangkan jika guru bisa menggunakan AI untuk menganalisis kebutuhan belajar siswa, merekomendasikan materi pembelajaran sesuai gaya belajar mereka, atau memberikan umpan balik otomatis, pembelajaran akan jauh lebih efektif dan menyenangkan. Namun hal itu hanya mungkin jika tenaga pendidik diberi ruang dan sumber daya untuk berkembang bersama teknologi.
Faktor pendukung lainnya adalah infrastruktur digital yang merata dan berkualitas. Ketimpangan akses teknologi antara kota besar dan daerah terpencil masih menjadi tantangan serius. Banyak sekolah di daerah belum memiliki laboratorium komputer yang layak, akses internet yang stabil, apalagi perangkat lunak berbasis AI yang bisa digunakan dalam pembelajaran. Hal ini menjadi tanggung jawab negara untuk menghadirkan keadilan digital melalui kebijakan yang menyeluruh, bukan hanya soal anggaran, tetapi juga distribusi sumber daya, pelatihan SDM, serta monitoring pelaksanaan di lapangan. Tanpa itu semua, mimpi tentang transformasi pendidikan berbasis AI hanya akan dinikmati oleh segelintir kelompok.
Dengan pendekatan yang strategis, inklusif, dan berkesinambungan, kemampuan adaptasi peserta didik SMA terhadap teknologi AI akan berkembang seiring waktu. Mereka tidak hanya akan menjadi pengguna teknologi yang cakap, tetapi juga mampu membentuk masa depan teknologi itu sendiri, dengan nilai, etika, dan empati yang tertanam kuat. AI memang cerdas, tetapi masa depan bangsa tetap berada di tangan manusia yang mampu berpikir kritis dan bijaksana. Oleh karena itu, membekali pelajar dengan kecakapan teknologi sekaligus nilai-nilai kemanusiaan adalah investasi terbaik dalam menghadapi abad ke-21.
Suhas Caryono berkontribusi dalam penulisan artikel ini.