Mahal, Gaji Guru Rendah, dan Tingginya Putus Sekolah
04/02/2024 : 17.30 WIB
Jakarta, 4 Februari 2024 – Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, melontarkan kritik tajam terhadap visi dan misi pasangan calon presiden dalam Pilpres 2024 yang dinilai belum menjawab persoalan mendasar dalam sektor pendidikan nasional. Dalam keterangannya kepada media, Ubaid menyoroti sejumlah masalah krusial yang belum tersentuh secara serius oleh para kandidat, seperti mahalnya biaya pendidikan, rendahnya gaji guru, serta tingginya angka putus sekolah di berbagai daerah.
Menurut Ubaid, banyak janji manis yang dilontarkan pasangan capres terkait pembangunan sumber daya manusia, namun tanpa disertai strategi konkret untuk membenahi akar persoalan pendidikan. Ia menyebut bahwa sistem pendidikan Indonesia saat ini masih menciptakan kesenjangan, di mana anak-anak dari keluarga miskin sulit melanjutkan pendidikan karena terbebani biaya yang tinggi, baik di tingkat dasar maupun menengah. “Bicara pendidikan gratis itu belum cukup. Yang diperlukan adalah pembenahan sistemik agar akses dan kualitas bisa dinikmati semua anak tanpa kecuali,” ujarnya.
Salah satu faktor utama yang turut memperparah kondisi ini, menurut JPPI, adalah rendahnya kesejahteraan guru, terutama mereka yang berstatus honorer. Gaji yang tidak layak membuat banyak guru kehilangan motivasi, bahkan ada yang harus bekerja sambilan demi mencukupi kebutuhan hidup. Ubaid menilai bahwa visi capres yang tidak menempatkan guru sebagai pusat reformasi pendidikan mencerminkan kurangnya pemahaman terhadap realitas di lapangan. “Guru adalah kunci. Jika mereka terus terpinggirkan, bagaimana kita bisa bicara soal pendidikan berkualitas?” katanya.
JPPI juga mengungkap data bahwa angka putus sekolah di sejumlah wilayah masih tinggi, terutama di kawasan terpencil dan miskin. Hal ini berkaitan erat dengan keterbatasan fasilitas, biaya transportasi, serta tekanan ekonomi keluarga. Ubaid mendesak para calon presiden untuk tidak hanya memberikan retorika populis, tetapi benar-benar menawarkan solusi yang menyentuh aspek struktural. Ia mendorong agar program pendidikan ke depan difokuskan pada penguatan anggaran, distribusi guru berkualitas, serta sistem perlindungan sosial bagi siswa dari keluarga rentan.
Lebih lanjut, Ubaid menekankan pentingnya partisipasi publik dan transparansi dalam penyusunan kebijakan pendidikan nasional. Ia berharap debat publik ke depan dapat menggali lebih dalam komitmen para capres terhadap isu-isu pendidikan, termasuk bagaimana mereka akan menyelaraskan kebijakan pusat dan daerah dalam mendukung sekolah-sekolah di daerah tertinggal. “Jangan sampai pendidikan hanya menjadi jualan politik menjelang pemilu, tapi dilupakan ketika sudah berkuasa,” tegasnya.
Sebagai penutup, JPPI menyerukan kepada masyarakat untuk lebih kritis dalam menilai program pendidikan yang ditawarkan masing-masing kandidat. Menurut Ubaid, masa depan bangsa sangat ditentukan oleh kualitas pendidikan hari ini. Oleh karena itu, visi dan misi pendidikan dari para capres tidak boleh berhenti pada slogan, melainkan harus mampu menjawab tantangan nyata yang dihadapi anak-anak, guru, dan sekolah di seluruh penjuru Indonesia.
Dewita Puspa berkontribusi dalam penulisan artikel ini.